Pada akhir abad 18, ilmuwan Inggris Robert Malthus (1766 – 1834) dalam bukunya “An Essay on the Principle of Population, as It Affects the Future Imporevement of Society with Remarks on the Speculations” mempublikasikan teorinya yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung akan mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan persediaan makanan cenderung mengkuti deret hitung. Terlepas dari banyak kritik terhadap teori itu, pada hari ini kita merasakan bahwa peresediaan bahan makanan menjadi semakin terbatas dengan semakin banyaknya populasi. Dalam konteks Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, keterbatasan lahan pertanian juga menjadi salah satu faktor dalam proses penyediaan makanan. Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia yang dihadapkan pada kebutuhan pangan untuk mencukupi gizi sejumlah 240 juta lebih rakyat Indonesai. Satu bahan pangan yang selalu menjadi isu nasional adalah daging sapi. Sebagai penyedia protein hewani, naiknya harga daging sapi akhir-akhir ini bisa menjadi indikator bahwa suplai daging sapi kita sangat terbatas dibandingkan dengan permintaan konsumen.
daging sapi
Harapan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi ke Rp. 80.000,-/kg nampaknya belum menunjukkan hasil. Pernyataan presiden yang disampaikan sebelum bulan ramadhan yang lalu sebenarnya telah direspon oleh para pembantu presiden. Tercatat bahwa Kementrian terkait sudah beberapa kali melakukan operasi pasar di banyak daerah. Namun sayangnya, data yang tercatat di Kementrian Perdaganagn menunjukkkan bahwa harga daging sapi nasional masih berkisar antara 112.000 hingga 117.000 (www.ews.kemendag.go.id) sejak presiden meminta penurunan harga hingga saat ini. Dengan demikian dalam kurun waktu hampir 2 bulan ini, tidak ada kebijakan yang memberikan dampak signifikan terhadap penurunan harga daging. Dalam artian, margin untuk mencapai target pemerintah dengan harga 80 ribu masih lebar.
Recent Comments