Dewasa ini mulai gencar terdengar adanya program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA atau yang akrab disebut Asean Economic Community (AEC). Seperti telah diketahui bahwa AEC merupakan hasil dari kesepakatan kesepuluh anggota negara ASEAN dalam rangka The ASEAN Anual Summit Meeting di Singapura pada tahun 2007 lalu oleh para pimpinan negara. AEC merupakan implementasi yang menyepakati adanya pembangunan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN. Hal ini bertujuan untuk mempermudah arus barang maupun jasa antar negara ASEAN yang merupakan pasar tunggal di ASEAN. Terdapat lima hal yang menjadi fokus utama antara lain barang, jasa, aliran investasi, perpindahan barang modal dan tenaga kerja terampil yang secara bebas dalam siklus aliran pasar tunggal AEC.
Keberadaan komunitas masyarakat ekonomi ASEAN, merupakan salah satu peluang dan juga tantangan ke depan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi salah satu pemicu agar masyarakat nasional berusaha untuk mampu bersaing dalam jendela yang sesungguhnya. Berbagai sektor yang menjadi penopang kehidupan perekonomian nasional kini dipertarukan keberlangsungannya. Salah satu bidang yang menjadi fokus utama berbagai negara saat ini adalah air, pangan dan energi. Perlu aksi dan langkah nyata untuk memecahkan masalah terkait kebutuhan bahan pokok tersebut dengan pemanfaatan dan pengolahan yang bijak.
Sektor yang menjadi perhatian serius untuk dikaji antara lain bidang pangan. Sektor agro yang syarat menjadi hajat hidup orang banyak, terutama kebutuhan pokok yakni makanan. Beras, daging , kedelai, jagung dan gandum yang notabene masih impor dari negara luar kini menjadi permasalahan yang serius untuk dipecahkan. Berdasar hasil kesepakatan dalam The ASEAN Annual Summit Meeting untuk program AEC ini, sektor pertanian akan dikelola dan dipimpin oleh negara Myanmar. Hal ini tentulah menjadi cambukan yang keras bagi para penggiat sektor agro. Pasalnya Indonesia yang memiliki lahan cukup luas dengan dua pertiganya merupakan perairan yang tentunya termasuk dalam kelautan dan perikanan seharusnya bisa mengendalikan sektor tersebut secara maksimal. Indonesia dalam hal AEC ini terlibat untuk menggarap sektor industri otomotif dan produk turunan kayu. Fokus perhatian yang perlu dipecahkan utama merupakan sektor pertanian yang mencakup peternakan, kehutanan dan perikanan.
Dukungan pemerintah untuk dana yang dikucurkan sebagai alat pengembangan sektor industri di bidang agro industri hanya memperoleh rataan total 0,8% dari total dana APBN sebesar 2000 trilyun rupiah. Padahal sektro agroindustri perlu mendapat perhatian serius. Bidang pertanian (termasuk peternakan) dengan lahan Indonesia yang luas seharusnya dapat dimanfaatkan dengan maksimal menjadi suatu sistem integrasi yang berkesinambungan antara bidang satu dengan lainnya. Salah satu contoh yang mulai berkembang di lapangan yakni sistem integrasi tanaman hutan dan ternak. Sebenarnya hal ini memberikan keuntungan dan pemanfaatan lahan dengan optimal. Pemerintah dalam pengembangan sektor agroidustri , kini memulai bekerja sama dengan berbagai pihak terkait yakni peran perguruan tinggi, pihak swasta dan masyarakat dengan sektor pertanian yang cukup hingga tercipta sistem integrasi yang berkesinambungan.
Berkaitan dengan hal tersebut Indonesia mengolah industri tekstil perkayuan dan bidang otomotif. Tentulah dengan hal ini, akan cukup memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sektor agro. Subsektor bidang agro termasuk pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan. Dalam hal ini Indonesia sedang mengalami dilema yang cukup besar, beberapa faktor yang berpengaruh besar diantaranya adalah sumber daya manusia. Masa depan pangan nasional dalam hal ini dipertaruhkan. Sektor non-agro seperti halnya otomotif dan perkayuan perlu dukungan sumber daya yang kompeten di bidangnya untuk menyokong keberlangsungannya dalam pasar ASEAN, yang notabene sektor industri kini dibanjiri berbagai produk murah dari Cina.
Dalam hal ini terdapat 12 Priority Integration Sectors yang menjadi fokus utama pada ASEAN Community kali ini, yang terdiri atas 7 sektor barang dan 5 sektor jasa yakni produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, berbagai produk turunan karet, tekstil dan pakaian, berbagai produk turunan kayu,, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, pariwisata dan jasa logistik. Ditemui beberapa waktu lalu oleh tim BPPM Gallusia, Subedjo yang merupakan dosen dari Fakultas Pertanian UGM menyampaikan bahwa, “hal yang sungguh sangat disayangkan bahwa potensi sektor nasional yang paling tinggi yakni sektor agro tidak termanfaatkan dengan baik, dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia. “ tuturnya.
Fakta di lapangan terlihat bahwa penggarapan sektor agro seperti pertanian dan peternakan masih minim dengan kepemilikan lahan dan ternak yang rendah juga dikelola dalam jumlah yang terbatas pula. Selain itu, hal yang dapat menjadi solusi adalah bagaimana langkah kedepan agar terdapat konsep paralel dimana meningkatkan produksi. Langkah ini dapat diawali dengan penggarapan secara serius sektor agro dari hulu hingga hilir. Produksi yang ditingkatkan dan sektor pengolahan juga dikembangkan dalam hal pengelolaan pasca panen. hal ini memungkinkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk tersebut.
Diversifikasi usaha perlu ditingkatkan untuk meningkatkan produksi. Destrukturisasi juga harus dikembangkan diantaranya ada bagian pengolahan dan juga bagian budidaya, sehingga dengan cara tersebut akan saling menyokong antara satu bidang dengan bidang lainnya. Sebagai contoh pada subsektor peternakan harus ada pihak penggarap di lahan secara langsung dan di pihak lain harus ada pihak pengolahan pasca panen yang mampu memberi inovasi baru. Hal ini dapat memberikan dampak positif dengan untuk membuka kesempatan kerja lebih banyak. Prioritas utama saat ini adalah untuk pengembangan skala usaha didukung dengan upaya pelatihan secara intensif bagi para penggarap dan adanya dukungan permodalan untuk menunjang keberlangsungan usaha.
Potensi wilayah untuk keberhasilan sektor agro sebenarnya memiliki peluang yang cukup besar. Posisi Indonesia sebenarnya cukup terhimpit dalam kondisi pasar bebas ASEAN, pasalnya banyak negara lain yang memiliki posisi yang efisien dalam memenangkan pasar. Tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangga berakibat pada permintaan yang lebih tinggi yang tidak dapat terpenuhi. Dampak terbesar adalah dengan dibukanya keran impor sebagai solusi instant yang sebenarnya menggerogoti perlahan upaya sendiri.
“Solusi yang diharapkan adalah penggunaan efektivitas lahan, antara penggarap dan pengolah seimbang, penguatan koperasi sektor agro untuk memperkuat sistem kelembagaan. Sifat kompetitif perlu ditumbuhkan agar semangat bersaing menjadi lebih baik tertanam dengan kuat. Sumber daya manusia yang mendukung dengan kompetensi kemampuan masing-masing. Adanya variasi olahan by-product sektor agro untuk meningkatkan kapasitas produksi. Beberapa hal kini jika ditekuni dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia mampu bersaing d pasar ASEAN 2016. Upaya bersama perlu ditingkatkan antara pemerintah, masyrakat dan akdemisi untuk turut serta berupaya menjadi kompetitor tangguh negara tetangga” tutut Subedjo. (Iqri/Galusia Edisi XXX)