Narasi besar yang dibangun oleh negara dalam hal ini pemerintah Presiden Joko Widodo terhadap sektor pertanian adalah didasarkan pada data yang menujukkan penurunan jumlah petani pengguna lahan yang menurun dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Jumlah petani yang mencapai 31 juta juta pada tahun 2003 ternyata hanya tersisa 26 juta pada tahun 2013. Penurunan hingga sekitar 17% tersebut sungguh mengkhawatirkan karena ini berarti telah terjadi perpindahan mata pencaharian utama dari sektor pertanian ke sektor yang lain. Dengan kata lain sektor pertanian dianggap tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani.
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada akhirnya menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 Tahun 2016 yang mengatur harga pembelian di tingkat petani maupun konsumen untuk beberapa bahan pokok. Komoditas bahan pokok yang diatur dalam peraturan tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Keluarnya peraturan ini perlu kita apresiasi karena telah menunjukkan kehadiran negara di semua aspek kehidupan masyarakat khususnya di pasar komoditas bahan pokok. Ini tentu menjadi bukti dari apa yang telah berkali-kali diucapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Pasca sensus pertanian tahun 2013, pemerintah dihadapkan pada sebuah data yang menujukkan penurunan jumlah petani pengguna lahan yang menurun dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Jumlah petani yang mencapai 31 juta juta pada tahun 2003 ternyata hanya tersisa 26 juta pada tahun 2013. Penurunan hingga sekitar 17% tersebut sungguh mengkhawatirkan karena ini berarti telah terjadi perpindahan mata pencaharian utama dari sektor pertanian ke sektor yang lain. Selain itu, ini menunjukkan bahwa sektor pertanian secara umum sudah dianggap tidak memberikan keuntungan bagi petani.
Pada akhir abad 18, ilmuwan Inggris Robert Malthus (1766 – 1834) dalam bukunya “An Essay on the Principle of Population, as It Affects the Future Imporevement of Society with Remarks on the Speculations” mempublikasikan teorinya yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung akan mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan persediaan makanan cenderung mengkuti deret hitung. Terlepas dari banyak kritik terhadap teori itu, pada hari ini kita merasakan bahwa peresediaan bahan makanan menjadi semakin terbatas dengan semakin banyaknya populasi. Dalam konteks Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, keterbatasan lahan pertanian juga menjadi salah satu faktor dalam proses penyediaan makanan. Hal ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia yang dihadapkan pada kebutuhan pangan untuk mencukupi gizi sejumlah 240 juta lebih rakyat Indonesai. Satu bahan pangan yang selalu menjadi isu nasional adalah daging sapi. Sebagai penyedia protein hewani, naiknya harga daging sapi akhir-akhir ini bisa menjadi indikator bahwa suplai daging sapi kita sangat terbatas dibandingkan dengan permintaan konsumen.
Harapan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi ke Rp. 80.000,-/kg nampaknya belum menunjukkan hasil. Pernyataan presiden yang disampaikan sebelum bulan ramadhan yang lalu sebenarnya telah direspon oleh para pembantu presiden. Tercatat bahwa Kementrian terkait sudah beberapa kali melakukan operasi pasar di banyak daerah. Namun sayangnya, data yang tercatat di Kementrian Perdaganagn menunjukkkan bahwa harga daging sapi nasional masih berkisar antara 112.000 hingga 117.000 (www.ews.kemendag.go.id) sejak presiden meminta penurunan harga hingga saat ini. Dengan demikian dalam kurun waktu hampir 2 bulan ini, tidak ada kebijakan yang memberikan dampak signifikan terhadap penurunan harga daging. Dalam artian, margin untuk mencapai target pemerintah dengan harga 80 ribu masih lebar.
AEC 2015? Apa yang ada dalam pikiran kita saat mendengar kata “AEC 2015”? AEC adalah kepanjangan dari ASEAN Economic Community, yaitu suatu progam dari ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat ASEAN untuk saling bertukar informasi dan IPTEKS. AEC 2015 merupakan isu yang sedang gencar dibicarakan oleh masyarakat ASEAN, tak terkecuali bagi masyarakat dunia. AEC seringkali disebut dengan pasar bebas se-ASEAN, jadi semua masyarakat ASEAN bebas masuk ke negara ASEAN yang bukan negara asalnya dengan tujuan mengenyam pendidikan, pekerjaan maupun dalam hal perindustrian.
Asean Economic Community atau sering disebut dengan AEC memang sedang menjadi pembicaraan yang sangat menarik dan hangat. Berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-2 tanggal 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia yang menyepakati Visi ASEAN 2020 yang berisi, (i) menciptakan Kawasan Ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing yang tinggi yang ditandai dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang bebas, pembagian ekonomi yang merata serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan social-ekonomi, (ii) mempercepat liberalisasi perdagangan di bidang jasa, dan (iii) meningkatkan pergerakan tenaga professional dan jasa lainnya secara bebas di kawasan. Kemudian berlanjut pada beberapa KTT berikutnya (KTT ke-6, ke-7) para pemimpin ASEAN menyepakati berbagai langkah yang bertujuan untuk mewujudkan visi yang telah diwacanakan tersebut (Departemen Perdagangan RI).
Pertumbuhan ekonomi negara Indonesia saat ini cenderung stabil bahkan berkembang di tengah krisis global. Namun banyak tantangan global yang harus dihadapi Indonesia untuk menuju negara maju. Salah satu tantangan tersebut yaitu ASEAN Economic Community (AEC) 2015. AEC adalah bentuk kerjasama ekonomi regional asia yang direncanakan untuk dicapai pada tahun 2015 tepatnya bulan Desember. Tujuan utama AEC adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi pada arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. AEC 2015 akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Tantangan tentu saja tidak bisa dihadapi tanpa adanya persiapan dan kekuatan yang matang dari seluruh sektor yang dipengaruhi kebebasan perdagangan yang ada saat ini.
Recent Comments