Pro dan kontra terkait dengan dunia perdagingan kembali mengemuka. Kali ini dipicu oleh permintaan Presiden Joko Widodo agar harga daging sapi di tingkat konsumen tidak lebih dari Rp. 80,000.000,-. Tentu saja ini bukan hal yang mudah mengingat harga daging sapi di pasaran seperti di Yogyakarta masih berkisar pada harga Rp. 120.000,- (www.krjogja.com tanggal 3 Juni 2016). Harga tersebut masih sangat relatif tinggi dibandingkan dengan target yang dicanangkan oleh Presiden. Jika dilihat berdasarkan sistem produksi dan distribusi di lapangan saat ini, maka permintaan Presiden tersebut terkesan jauh panggang dari api. Dari sisi produsen, penurunan harga hingga 80,000, hanya bisa dicapai dengan penambahan kuota impor daging sapi maupun sapi bakalan. Akibatnya produsen lokal dalam hal ini peternak rakyat tentu akan menjadi korban dari harga daging yang dipatok murah.
Namun demikian, harga daging yang murah tentu memberi keuntungan bagi konsumen rumah tangga maupun produsen olahan makanan berbahan dasar daging sapi. Dengan harga daging yang murah maka biaya pembelian bahan baku menjadi lebih rendah. Selain itu, pemerintah juga akan mendapatkan banyak keuntungan karena penurunan harga daging dapat memperkecil peluang penyalahgunaan seperti penyelundupan daging sapi, pencampuran daging sapi dengan daging-daging lain yang belum tentu halal atau penyebaran daging bangkai yang tentu sangat sensitif bagi masyarakat kita khususnya yang beragama islam.
Oleh karena itu, rezim daging sapi murah tentu saja menarik untuk ditelisik agar kita dapat melihat secara keseluruhan tentang centang-perentang sistem produksi dan distribusi daging sapi di Indonesia. Secara umum ada dua pendekatan untuk menganalisis sistem produksi peternakan hingga sistem distribusinya. Pendekatan pertama adalah dengan model agribisinis. Secara garis besar, model agribisnis melihat bahwa usaha peternakan harus diupayakan menguasai dari hulu hingga hilir. Konsekuensinya adalah usaha peternakan menjadi usaha padat modal dan sumber daya. Akibatnya model ini membutuhkan investasi besar karena harus mampu menguasai sektor hulu di wilayah produksi hingga hilir di tingkat konsumsi. Pendekatan model ini pada akhirnya diadopsi oleh segelintir pemodal besar dengan mengembangkan perusahaan penyedia pangan. Dalam konteks pembangunan ekonomi, pendekatan agribisnis berkontribusi signifikan dalam mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi di sektor peternakan.
Pendekatan kedua adalah model farming system yang lebih mengedepankan pada pendekatan integrasi sumber daya (integrated resources management) yang dimiliki oleh produsen, pelaku di sektor tata niaga, dan industri pengolahan makanan. Dalam pendekatan ini, sistem produksi dibangun oleh berbagai macam sumber daya yang dimiliki petani dengan skala tertentu seperti misalnya mengintegrasikan budidaya peternakan, pertanian, dan perikanan sekaligus. Dilihat dari sisi keberlanjutan (sustainability) pendekatan farming system lebih menjamin sistem produksi yang ramah lingkungan dan cocok dengan kondisi peternak Indonesia yang memiliki sumber daya dalam skala kecil. Model kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan sapi potong untuk memproduksi daging sapi nampaknya lebih dominan mengadopsi model ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam skema hibah dan bantuan ternak kepada peternak rakyat dengan jumlah sangat minimalis, 1 atau 2 ekor per peternak. Dengan skala kecil tersebut, pendekatan model ini belum cukup kredibel untuk bisa menjamin ketersediaan pangan bagi 240 juta masyarakat Indonesia.
Dari dua pendekatan sistem produksi ini, kita bisa menelisik lebih jauh mengenai dampak rezim daging murah bagi pembangunan peternakan di Indonesia. Pertama, pendekatan farming system yang dominan dalam mempengaruhi model kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia abai terhadap nilai2 efisiensi. Harga daging sapi yang mahal memberikan sinyal bahwa sistem produksi sapi potong dan distribusi daging belum efiesien. Sebagai contoh, integrasi antara pemeliharaan ternak dan budidaya padi yang lazim dipraktekkan oleh peternak di Indonesia memiliki skala usaha rata-rata 2 ekor sapi potong dan didukung oleh 0,5 hektar lahan. Fakta dari Sensus Pertanian 2013 juga membuktikan bahwa dari sekitar 12 juta total populasi sapi potong dipelihara oleh rumah peternak dengan skala usaha 1-2 ekor (www.st2013.bps.go.id). Tentu saja model pemeliharaan ini sangat tidak efisien dan tidak bakal menguntungkan peternak secara finansial. Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang mampu memasukkan nilai-nilai efisiensi pada sistem produksi sapi potong di tingkat rumah tangga peternak. Di beberapa negara tetangga, adopsi nilai2 efisiensi usaha pada rumah tangga peternak dimulai dari peningkatan skala usaha peternak. Pemerintah wajib memberikan batasan minimal jumlah ternak yang bisa dipelihara. Dengan jumlah minimal tersebut, peternak dapat mengakses segala fasilitias yang diberikan oleh pemerintah seperti kredit, subsidi hingga asuransi. Di bawah skala minimal, maka pemerintah dapat menganggap bahwa si peternak memelihara hewan ternak untuk klangenan, bukan untuk berproduksi. Kedua, pemerintah juga harus berhati-hati dengan kebijakan dalam mematok harga murah untuk daging sapi. Mengapa? Jika terjadi kegagalan adopsi nilai-nilai efisiensi pada sistem produksi dan distribusi maka importir sapi bakalan dan daging sapi akan menjadi pihak yang sangat diuntungkan. Rezim impor secara otomatis akan mengambil alih sistem produksi dan distribusi daging sapi di Indonesia. Hal ini tentu saja sangat tidak diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Melepas tanggung jawab penyediaan pangan kepada asing, dalam hal ini impor pangan, sama saja dengan menyerahkan leher kepada musuh untuk disembelih. Untuk itu, rezim daging murah tentu perlu didukung. Namun demikian, pemerintah juga harus memulai mendesain kebijakan yang dapat menstimulasi peternak untuk mengadopsi nilai-nilai efisiensi dalam budidaya peternakan. Paling tidak, peternak harus didorong untuk meningkatkan skala usahanya.
Ahmad Romadhoni S.P.
Penulis adalah dosen di Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UGM
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat 19 Juni 2016