Satu minggu terakhir ini kita dikejutkan oleh penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks oleh Pemerintah Kabupaten Kulonprogo (SKH Kedaulatan Rakyat, 18 Januari 2017). KLB ini ditetapkan terkait dengan munculnya kasus Antraks di Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Kita patut mengapresiasi langkah cepat tanggap dari pemerintah untuk menetapkan kebijakan KLB ini. Dengan demikian penyebaran penyakit tersebut dapat diisolasi dan dikontrol agar tidak meluas ke wilayah lain di sekitar KLB.
Namun demikian, penetapan KLB ini juga memunculkan keresahan baru di tingkat masyarakat baik di kalangan peternak maupun konsumen rumah tangga. Sejak munculnya berita KLB di surat kabar, banyak kabar tentang dampak penyakit tersebut yang berseliweran di media sosial. Jika pemilik akun media sosial tidak memiliki pengetahuan memadai tentang apa itu Antraks atau mereka tidak mencoba mengkonfirmasi melalui sumber-sumber yang valid maka dikhawatirkan terjadi misleading tentang penyakit tersebut.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat secara umum awam terhadap segala hal penyakit-penyakit yang bersifat zoonosis. Zoonosis didefinisikan sebagai infeksi yang ditularkan secara alamiah dari hewan ke manusia (Soejoedono, 2004). Contoh dari penyakit yang bersifat zoonosis adalah Rabies, Antraks, Toxoplasmosis, Flu Burung, dll. Awamnya masyarakat mengenai zoonosis ini pada tingkat tertentu justru kontra produktif dengan usaha pengendaliannya.
Karakteristik
Dalam konteks KLB Antraks, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan pedoman pengendalian pemberantasan penyakit hewan menular khususnya seri untuk penyakit Antraks. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa Antraks sering juga disebut dengan radang limpa disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Bakteri ini dapat menyerang semua hewan berdarah panas termasuk juga manusia. Kuman yang jatuh ke tanah akan berubah menjadi spora yang dapat menjadi sumber penularan penyakit ini. Spora tersebut dapat hidup sampai lebih dari 40 tahun. Oleh karena itu, daerah yang telah menjadi endemik Antraks akan berpotensi mengalami wabah kembali di waktu-waktu mendatang.
Pemerintah juga telah menetapkan beberapa wilayah di Indonesia sebagai daerah endemik Antraks. Ada 14 propinsi yang telah ditetapkan sebagai daerah endemik diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Barat, dll. Di propinsi DIY, kasus terakhir tercatat pada tahun 2003 namun tidak menular ke manusia. Antraks menjadi salah satu penyakit hewan yang menyebabkan dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat dan kematian hewan yang sangat tinggi. Dengan penetapan dari Kementrian Pertanian, penyakit ini menjadi salah satu prasarat untuk proses importase perdagangan luar negeri. Dalam kasus impor ternak misalnya, daerah asal ternak harus dinyatakan bebas Antraks untuk memastikan agar hewan ternak tidak terinfeksi penyakit tersebut.
Bagi konsumen rumah tangga, tentu saja muncul ketakutan untuk mengkonsumsi produk-produk peternakan. Kondisi ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan cara memastikan bahwa produk yang kita konsumsi berasal dari hewan ternak yang sehat. Pada daging misalnya, sapi yang akan dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dipastikan telah mendapatkan sertifikat sehat dari otoritas yang berwenang. Kejadian wabah Antraks di Kulonprogo muncul karena ternak tidak disembelih di RPH sehingga tidak mengikuti standar penyembelihan yang telah ditetapkan. Konsumen tidak perlu segan untuk bertanya kepada penjual daging, darimana daging yang dijual tersebut berasal. Penjual juga wajib untuk menyampaikan informasi yang benar terkait dengan barang yang dijualnya.
Mitigasi
Momentum KLB Antraks ini diharapkan mampu menjadi pemicu kesadaran masyarakat tentang potensi zoonosis di sekitarnya dan cara mengantisipasinya. Tidak hanya penyakit Antraks saja namun penyakit-penyakit lain yang memiliki dampak kerugian dan keresahan luar biasa. Para pemangku kepentingan perlu untuk memformulasikan skema mitigasi zoonosis yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siapapun. Kasus peternak di Girimulyo yang menyembelih ternak sakit kemudian dibagikan ke tetangga mencerminkan bahwa kesadaran mitigasi belum muncul baik di tingkat peternak maupun konsumen rumah tangga. Bisa jadi hal tersebut diawali dari ketidaktahuan peternak tentang penyakit-penyakit hewan yang membahayakan bagi lingkungan dan manusia.
Di Propinsi DIY, kesadaran mitigasi sebenarnya sudah dikembangkan dan berjalan dengan baik terkait kebencanaan. Penyadaran terhadap pengurangan resiko akibat bencana telah merasuk dalam kehidupan masyarakat di Propinsi ini. Skema tersebut tentu dapat diadopsi untuk mengembangkan mitigasi zoonosis. Dengan tingkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup tinggi, banyaknya ahli-ahli terkait dengan peternakan dan kesehatan hewan, dan kemudahan akses informasi mestinya menjadi potensi yang luar biasa bagi DIY untuk mengembangkan skema mitigasi zoonosis. Untuk zoonosis yang berhubungan dengan hewan kesayangan, mitigasi zoonosis mungkin menjadi lebih mudah. Masyarakat yang memelihara hewan kesayangan cenderung lebih mudah diedukasi karena mereka memiliki tingkat pendapatan tinggi dan akses informasi yang lebih baik. Akan tetapi, mitigasi zoonosis pada peternak nampaknya memerlukan usaha yang lebih keras. Dengan tingkat pendapatan dan akses informasi lebih terbatas, para pemangku kepentingan harus bisa memahamkan bahwa wabah zoonosis dapat berdampak pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat layaknya bencana alam. Tentu bukan hal yang mudah, namun dengan kerjasama antar pemangku kepentingan, mitigasi zoonosis sangat mungkin diterapkan pada peternak dan konsumen rumah tangga sekaligus. Hanya butuh komitmen untuk memulai dari sekarang.
Ahmad Romadhoni S.P., Ph.D.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UGM
21 Januari 2017