Penggunaan pupuk kimia di tingkat petani menurut data Badan Pusat Statistik dalam Struktur Ongkos Usaha Tani (SOUT) 2011 merupakan pengeluaran terbesar ketiga setelah biaya upah pekerja dan sewa lahan. Pada empat komoditas tanaman pangan yakni padi sawah, padi ladang, jagung dan kedelai, masing-masing menempati prosentase 14,13%; 13,34%; 16,64% dan 11,08% untuk biaya pupuk. Dalam tahap menuju sistem pertanian berkelanjutan, biaya pupuk sebagai ongkos terbesar ketiga juga berlaku pada komoditas lain seperti kacang tanah, kacang hijau dan ubi jalar. Meski kebutuhan nutrisi tambahan untuk tanaman merupakan hal yang penting, penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis justru akan menimbulkan kerugian. Selain mengubah keseimbangan hara tanah, pupuk berlebih juga dapat mengkibatkan ketergantungan dan kelainan pada tanaman. Selain itu, ketergantungan lahan dan tanaman terhadap pupuk juga mengakibatkan membengkaknya biaya produksi.
Sebagai negara agraris terbesar di dunia, petani di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama wilayah Jawa memiliki mindset bahwa pemberian pupuk dan pestisida pada tanaman budidaya mereka jika tidak banyak dan rutin akan terasa kurang mantap. Fakta di lapangan menunjukkan banyak petani yang memupuk tanamannya menggunakan dengan dosis tinggi dan dalam frekuensi yang sangat sering. Anjurannya, penggunaan pupuk dan pestisida jika tidak dikelola dengan tepat, akan berdampak ekologis dan agronomis bahkan tanpa disadari penggunaan demikian akan meningkatkan biaya produksi.
Sesuai dengan prinsip dalam sistem pertanian berkelanjutan, petani berangsur-angsur di ajak kembali pada kearifan lokal seperti penggunaan pupuk organik, meski baru sekitar 5% petani mau menggunakan pupuk organik menurut Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Indonesia pada 2012 yang dilansir lensaindonesia.com. Penggunaan pupuk organik relatif lebih mudah dan murah pada kisaran dan keadaan tertentu. Pembuatan dan pengaplikasian pupuk kompos dan pupuk kandang yang sudah banyak diketahui masyarakat sebenarnya memudahkan program pengurangan penggunaan pupuk kimia berlebih. Namun walau sudah memasyarakat, masih ada sebagian petani yang belum tahu cara membuat dan mengaplikasikan pupuk organik. Panut, Ketua Kelompok Tani di Kecamatan Sewon, Bantul, ketika didatangi sekelompok mahasiswa Fakultas Pertanian UGM pada 2013, mengaku bahwa ia dan teman-temannya belum bisa mengolah pupuk kotoran sapi bantuan dari Pemerintah Kabuaten Bantul yang mereka ternakkan bersama.
Menurut Panut, kotoran yang mereka aplikasikan langsung pada padi di sawah justru mengganggu pertumbuhan padi. Akhirnya kotoran sapi dijual ke daerah Temanggung. Kelompok mahasiswa menduga bahwa kotoran sapi yang belum terolah masih memiliki kadar pH rendah sehingga menganggu pertumbuhan tanaman padi. Hal ini menujukkan bahwa tidak semua petani memahami cara mengolah pupuk organik dengan tepat. Perlu adanya pendampingan intensif untuk para petani oleh pihak-pihak seperti pemerintah, dalam hal ini penyuluh lapangan, juga mahasiswa dan dosen atau ilmuan sebagai pihak akademisi yang berkontribusi.
Konsep pendampingan pada pengembangan pertanian di kalangan petani oleh akademisi dan pemerintah menurut beberapa dosen Fakultas Pertanian UGM bukanlah proses mengajari petani dan memposisikan petani seolah semua petani belum tahu apa-apa. Pada dasarnya petani lebih berpengalaman mengatasi lahan dan tanamannya, serta lebih sering mencari solusi sendiri. Mereka biasa berbagi dengan petani lainnya tentang masalah yang dihadapi, tentunya juga saling berbagi ilmu baru yang didapat. Konsep pertanian berkelanjutan yang menjurus pada penggunaan pupuk dan pestisida alami sudah banyak dipahami oleh sebagian besar petani. Inovasi ‘beternak nyambi bertani’ juga sudah banyak dipraktekkan dengan penekanan pada pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman.
Dilihat dari satu sudut pandang, Panut dan teman-temannya tidak paham soal pupuk kandang, petani binaan salah satu dosen Faperta, Dr. Ir. Nugroho Susetya Putra, M.Si menjelaskan bahwa di wilayah Sleman sudah menemukan cara membuat pupuk organik cair yang memanfaatkan mikrobia pada rumen sapi. Petani tersebut membeli rumen sapi saat diadakan penyembelihan Hari Raya Qurban. “Kita jangan menggurui petani, mereka lebih luar biasa dari kita. Jika di lapangan saya malah yang lebih banyak bertanya pada mereka”, tuturnya pada suatu perkuliahan.
Menurut Susetya, saat akademisi ingin mengadakan suatu program pengabdian, seperti Program Kerja KKN contohnya, alangkah lebih baik jika mahasiswa menawarkan relasi dan berperan sebagai fasilitator bagi petani, bukan yang mengajari petani. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perwujudan sistem pertanian berkelanjutan, perlu adanya pengubahan kebiasaan yang kurang sesuai dengan visi pertanian berkelanjutan itu sendiri seperti penggunaan pupuk kimia yang kurang bijak. Solusi konvensionalnya adalah dengan beralih ke pupuk organik yang lebih murah dan ramah lingkungan. Namun perlu ada pendampingan intensif untuk mendukung inovasi petani dan juga pemberian motivasi serta pemahaman tentang bercocok tanam yang tepat ekologis, agronomis dan ekonomis kepada petani. Untuk mewujudkannya diperlukan adanya sinergitas yang erat antara pemerintah dan akademisi yang expert di bidang yang bersangkutan secara langsung seperti pertanian, peternakan, tata niaga, teknologi dan lingkungan (Sayyida Ikrima/ Primordia/ Galusia Edisi XXIX).