Layaknya sebuah kota besar lainnya, Kota Yogyakarta memiliki peluang pasar yang besar dalam bidang agribisnis, salah satu indikatornya adalah peningkatan permintaan masyarakat akan kebutuhan bahan pangan. Peluang tersebut harus didukung dengan tersedianya sumber daya alam meliputi lahan dan menurunkan konversi (alih fungsi) lahan pertanian menjadi non-pertanian yang meningkat tiap tahunnya.
Proses ahli fungsi tersebut harus dikendalikan demi keberlanjutan ketersedian bahan pangan. Salah satunya dengan menerapkan Integrated Farming System (IFS) atau sistem pertanian terpadu. “Peningkatan usaha peternak-petani dengan pemanfaatan lahan dan pelestarian lingkungan menjadi awal pemikiran Pemerintahan Yogyakarta dalam mencanangkan program Integrated Farming System (IFS) tahun 2005, kemudian baru melakukan sosialisasi kepada masyarakat tahun 2008 hingga 2009 dan terealisasikan tahun 2010 hingga kini” tutur Pak Tarno selaku Ketua Dinas Peternakan Yogyakarta.
Kota Yogyakarta sendiri telah menerapkan program tersebut di beberapa tempat diantaranya Kecamatan Kalibawang Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, Turi dan Cangkringan. Dari beberapa tempat tersebut, dinas peternakan Yogyakarta memfokuskan pada dua titik yaitu daerah Kalibawang dan Kulon Progo. Sebelum mengenal apa itu kebijakan integrasi peternakan di Yogyakarta, alangkah baiknya memahami arti integrasi peternakan terlebih dahulu.
Apa itu integrasi peternakan ?
Integrasi peternakan adalah sistem pengelolaan atau usaha yang menyinkronkan kegiatan sektor peternakan dengan bidang lain seperti pertanian, perikanan dan kehutanan yang masing-masing sektor saling menunjang untuk meningkatkan produksi masing-masing sektor tersebut. Berbagai manfaat dengan adanya integrasi peternakan diantaranya meningkatkan produktivitas ternak, meningkatkan usaha dari suatu lahan dan pelestarian lingkungan. Proses intensifikasi lahan dengan tidak hanya mengembangkan satu komoditas, melainkan beberapa komoditas yang saling berhubungan dan berkesinambungan satu dengan lainnya.
Pemeliharaan ternak terutama dalam manajemen pakan menjadi lebih mudah dengan berdampingannya lahan pertanian maupun perkebunan. Sisa hasil pertanian maupun perkebunan bisa dijadikan pakan bagi ternak, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan menjadi efisien. Pemanfaatan limbah ternak bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi pupuk organik guna menyuburkan lahan pertanian dan perkebunan tanpa merusak komposisi tanah secara alamiahnya. Hal itu dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia yang bisa merusak lingkungan baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang.
Bagaimanakah Pola integrasinya?
Pola integrasi di Kota Yogyakarta umumnya adalah setiap ternak dipelihara secara terpadu berdampingan dengan tanaman, dikenal dengan sistem integrasi ternak-tanaman (integrated farming system). Keunggulan dari pola integrasi tersebut adalah potensi ketersediaan pakan dari limbah tanaman cukup besar sepanjang tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap pakan dari luar dan menjamin keberlanjutan usaha peternakan. Kemudian dari kebijakan akan pola tersebut akan memiliki dampak positif terhadap ketersedian pangan di kota Yogyakarta.
Pola integrasi peternakan di kota Yogyakarta dapat dijumpai diantaranya integrasi ternak sapi-tanaman di Kalibawang, Kulon Progo dan integrasi ternak-hutan di kabupaten Gunung Kidul. Kegiatan integrasi di Kalibawang meliputi ternak sapi, pengolahan pupuk, sayuran, tanaman padi, dan perkebunan. Lain halnya di daerah Turi dan Cangkringan, kegiatan integrasi yang dilakukan yaitu usaha ternak dengan tanaman salak pondoh. Dalam hal ini, memanfaatkan limbah salak pondoh sebagai pakan ternak yang sebelumnya di chopping terlebih dulu. Pola integrasi ternak sapi-tanaman sangat menguntungkan karena ternak dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan, selain itu ternak menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kebijakan Integrasi Peternakan
Dalam menunjang pembangunan peternakan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dalam pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Upaya ini dilakukan dengan membuka peluang investasi dan pasar sekaligus meningkatkan peran petani-peternak dalam pembangunan peternakan serta memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal. Sehingga diharapakan kebutuhan akan pangan impor berkurang.
Peternakan di Yogyakarta umumnya didominasi oleh peternakan rakyat berskala kecil dan dijalankan sebagai penghasil tambahan. Tahap pengembangan usaha mengalami kendala dalam hal permodalan. Berkaitan dengan hal itu, pada tahun 2011 dan 2012 pemerintah menggulirkan bantuan kepada kelompok ternak guna menunjang usaha peternakan rakyat kecil. Bantuan yang diberikan dalam bentuk paket uang, misalnya untuk setiap paketnya akan diberikan Rp. 300.000.000,- yang akan digunakan untuk membeli ternak. Namun, dikarenakan pelaksanaan di lapangan tidak sesuai harapan, maka di tahun 2014 pemerintah merubah sistem bantuan bagi kelompok ternak yakni bantuan yang diberikan langsung berupa ternak, sehingga pemanfaatannya sesuai dengan tujuan. Harapannya dengan diberikan bantuan tersebut, usaha peternakan rakyat kecil semakin meningkat. Program ini tidak ada undang-undang yang mengaturnya. “Ini hanya inovasi dari model pengolahan lahan”, ujar Pak Tarno saat berbincang dengan tim BPPM Gallusia.
Bagaimana perkembangannya saat ini ?
Menoleh perkembangan dan kejadian akan kebijakan integrasi pada tahun sebelumnya, evaluasi merupakan hal yang perlu dilakukan demi keberlanjutan suatu program. Dari evaluasi tersebut dapat diketahui apa saja yang perlu dibenahi dan ditingkatkan. Dinas Pertanian dan Peternakan Yogyakarta selaku perwakilan pemerintahan telah mengevaluasi program integrasi peternakan tiap tahunnya, dan hasil evaluasi menunjukkan bahwa integrasi yang sudah berjalan beberapa tahun, perkembangannya belum begitu terlihat pesat, karena dalam hal pelaksanaan program tersebut tidaklah mudah. Banyak kendala yang dialami dalam pelaksanaannya.
Program Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Yogyakarta adalah meningkatkan ketahanan pangan, nilai tambah dan daya saing komoditas peternakan, kesejahteraan masyarakat, serta mengembangkan komoditas unggul suatu daerah. Namun, berbagai program tersebut belum berjalan sebagaimana yang telah dicanangkan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut, termasuk pihak-pihak yang terkait yakni masyarakat (petani-peternak), pemerintah pusat, dan pemerintah daerah khususnya bidang peternakan dan pertanian. Faktor paling utama adalah dukungan dari pemerintah daerah.
Peran pemerintah daerah wilayah Yogyakarta sangat penting dalam menunjang pembangunan peternakan, sehingga perlu adanya dukungan dalam bentuk komitmen saat pelaksanaan program tersebut. Pemerintah sebagai motivator, akselerator, regulator, fasilitator, dan promotor. Dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator yakni memberikan fasilitas berupa bantuan permodalan dan penyuluhan kepada petani-peternak. Pemerintah daerah juga perlu melakukan mengawali jalannya usaha petani-peternak.
Kendala apa saja yang dialami ?
Realitasnya berbagai kendala yang dihadapi adalah terjadi kesulitan dalam mengalokasikan kegiatan karena masing-masing dinas memiliki fokus dengan kegiatan tersendiri. Bappeda harus bisa berkomitmen untuk bisa menyeragamkan fokus masing-masing bidang, juga menyamakan pervasi dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) daerah lain. Masalah lainnya yaitu sumber daya manusia, lahan, permodalan, dan teknologi. Masalah sumber daya manusia dilihat dari silsilah keturunan yang tidak selamanya dalam keluarga tersebut memiliki profesi yang sama sebagai petani ataupun peternak, sehingga keberlanjutan usaha menjadi terhambat. Lahan juga menjadi kendala karena program integrasi peternakan merupakan multi usaha. Jadi, diperlukannya lokasi yang bisa mendukung jalannya semua usaha tersebut, sedangkan untuk mendapatkan lokasi yang sesuai dibutuhkan jangka waktu untuk survei lokasi. Biasanya kendala yang sering dihadapi petani-peternak dalam membangun usaha peternakannya yakni masalah permodalan, karena tidak sedikit biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan usaha tersebut. Di Yogyakarta sendiri untuk masalah permodalan belum ada jaminan lembaga yang menyediakan khusus bagi peternak-petani yang menanganinya. Teknologi yang digunakan masih tradisional, padahal pemerintah sudah memfasilitasi bantuan teknologi untuk memudahkan dalam proses produksinya. Sayangnya, teknologi yang disediakan hanya digunakan saat pelatihan saja. Sebab, dalam pelaksanaannya petani-peternak tidak mau repot dan memilih yang lebih praktis.
Harapannya kepada pelaku dan penentu kebijakan, segala kendala yang dihadapi bisa disikapi dengan baik sehingga kedepannya integrasi peternakan dapat berkelanjutan dan berjalan optimal. Dengan baiknya integrasi peternakan di Yogyakarta, setidaknya kebutuhan akan bahan pangan impor dapat dibatasi, sehingga cita-cita akan kedaulatan pangan bukanlah angan-angan belaka. (Anna dan Farras/ Galusia Edisi XXIX)