Awal tahun 2017, kita banyak mendapatkan informasi mengenai keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan produksi beberapa komoditas pertanian seperti jagung, beras, telor ayam, daging unggas, dll. Namun demikian, tahun ini juga diawali dengan adanya kenaikan harga cabe rawit yang luar biasa, hingga mencapai lebih dari Rp. 100.000,- /kg. Cukup ironi, di satu sisi kita bangga dengan keberhasilan pemerintah, namun di sisi lain kita miris karena harga cabe melangit tanpa bisa dikontrol oleh pemerintah.
Lalu, mengapa kita bisa mengalami dua fakta ironi dalam waktu yang hampir bersamaan? Menurut hemat penulis, logika pembangunan ketahanan pangan, kemandirian pangan, ataupun kedaulatan pangan yang digunakan sebagai arahan pembangunan sektor pangan tidak bisa lepas dari logika pasar. Secara sederhana, pasar terbentuk jika ada penawaran atau pasokan (supply) dan permintaan (demand). Sifat musiman dan mudah rusaknya komoditas pertanian menyebabkan terkadang penawaran tidak mampu memenuhi permintaan. Karena itulah kemudian harga menjadi naik. Pada sisi permintaan, laju pertumbuhan penduduk tentu saja meningkatkan jumlah konsumsi bahan pangan. Selain itu, peningkatan pendapatan juga mampu mengubah pola konsumsi pangan yang berakibat pada peningkatan konsumsi yang tidak konstan pada salah satu komoditas. Dengan memahami pola relasi pasar bahan pangan dengan sederhana tersebut, kita bisa memprediksi bahwa konstruksi ideal kedaulatan pangan yang tercantum dalam Nawacita diterjemahkan dalam konteks peningkatan produksi pertanian seiring dengan laju pertumbuhan penduduk.
Dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, pemenuhan pangan secara standar pada setiap penduduk menjadi lebih kompleks seiring dengan berbagai macam permasalahan mendasar di sektor pemenuhan pangan. Apa saja permasalahan mendasar tersebut? Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan hingga 17% selama 2003 hingga 2013, dan tren penurunan tersebut masih terus berlangsung hingga saat ini. Rata-rata umur petani juga mengalami kecenderungan semakin tua karena lambatnya regenerasi petani. Di samping itu, perubahan alih fungsi lahan juga semakin mengurangi luasan tanah-tanah yang produktif. Akibatnya, sumber daya petani semakin lemah dan petani semakin tidak berdaya. Tercatat di BPS bahwa 77% petani di Jawa merupakan petani gurem dengan luasan lahan 0.2 – 0.3 Ha dan pendapatan 1,03 juta per rumah tangga petani. Problema tersebut menjadi hambatan sekaligus tantangan yang sangat besar dalam mendukung dan merawat kedaulatan pangan.
Oleh karena itu, ada lima fokus yang perlu dibenahi dalam rangka merawat kedaulatan pangan. Pertama, intervensi teknologi harus selalu diarahkan untuk mengurangi beban input dan meningkatkan nilai tambah output. Di sisi on-farm, usaha produktif para petani harus didukung dengan fokus penerapan teknologi yang dapat mengurangi beban biaya input. Ini untuk mengurangi resiko terhadap fluktuasi harga komoditas yang seringkali menghantam permodalah petani. Teknologi peningkatan nilai tambah output juga menjadi fokus utama agar petani didorong untuk mampu mendapatkan tambahan pendapatan dari hasil panen mereka. Namun demikian, teknologi tersebut harus relatif murah terhadap potensi keuntungan petani agar adopsi teknologi bisa berjalan dengan cepat. Saat ini banyak teknologi-teknologi baru yang didesain oleh peneliti maupun akademisi namun tidak dapat didiseminasikan ke petani karena hambatan harga teknologi yang relatif mahal. Kedua, kenaikan skala usaha harus menjadi prioritas utama agar budidaya pertanian masuk dalam skala ekonomis dan menguntungkan. Salah satu ketidaktertarikan generasi muda untuk bekerja di sektor budidaya pertanian dan peternakan adalah rendahnya pendapatan. BPS mengungkapkan bahwa pendapatan bulanan petani bahkan lebih rendah daripada upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi. Hal ini diakibatkan oleh skala usaha produksi petani yang kecil dan tidak efisien. Di budidaya ternak sapi potong misalnya, terjadi penurunan yang cukup drastis dari 3,5 ekor ke 2,5 ekor dari tahun 1995 ke 2013. Dengan sumber daya yang terbatas, usaha pertanian dan peternakan menjadi tidak menarik bagi kalangan generasi muda jika tidak didorong untuk menaikkan skala usaha.
Ketiga, pembenahan infrastruktur menjadi tulang punggung untuk merawat kedaulatan pangan. Secara sederhana, petani harus diberi akses seluas-luasnya terhadap informasi pasar. Sebaliknya, konsumenpun harus dapat mengakses informasi produksi dengan baik. Selama ini akses terhadap pasar seringkali dihambat oleh oknum-oknum pedagang perantara yang justru mendapatkan keuntungan lebih dengan beban resiko yang kecil. Proses distribusi yang tidak berkeadilan ini juga merugikan konsumen karena mereka tidak bisa mendapatkan harga yang wajar. Keempat, kerangka aturan dan kebijakan harus diarahkan untuk mendukung pembangunan di sektor pangan. Sinergisitas antar lembaga pengambil kebijakan menjadi prasyarat penting agar implementasi kebijakan berjalan dengan baik di lapangan. Jangan sampai satu kementrian mengatur harga di pasaran sedangkan petani malah menanggung kerugian akibat kebijakan tersebut.
Kelima, pembenahan kelembagaan petani. Menguatkan kembali koperasi di sektor pertanian nampaknya bisa menjadi solusi. Saat ini tentu saja banyak kelompok tani telah dibentuk. Namun, kemanfaatannya masih sebagai wahana bekerjasama untuk berproduksi belum bekerjasama untuk berusaha secara ekonomi. Kelompok tani cukup berhasil sebagai sarana untuk proses diffusi teknologi baru namun gagal dalam usaha untuk mengakses pasar. Koperasi merupakan model kelembagaan yang dapat menstimulasi para petani untuk bekerjasama dalam berproduksi sekaligus mengakses pasar dan mengoptimalkan keuntungan. Pengalaman di banyak negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Denmark, Belanda, Jerman, dll. menunjukkan bahwa petani-petani dapat maju bersama ketika mereka berhimpun untuk mengakses pasar dan mendapatkan keuntungan bersama. Data menunjukkan bahwa share market untuk produk pertanian di negara-negara maju dikuasai oleh produk yang dikelola oleh koperasi-koperasi pertanian. Kelemahan koperasi di Indonesia adalah rendahnya rendahnya trust (rasa saling percaya antar anggota). Ketidakpercayaan ini diakibatkan oleh perilaku oknum-oknum pengurus yang tidak transparan dan akuntabel ketika mengelola koperasi. Intervensi teknologi informasi dalam sistem tata kelola koperasi bisa menjadi solusi agar tingkat kepercayaan para petani dapat terbangun.
Selanjutnya, merawat kedaulatan pangan mensyaratkan adanya pemahaman bersama untuk fokus pada budidaya pertanian secara umum yang berkelanjutan. Terminologi berkelanjutan harus merujuk pada berkembangnya faktor teknis produksi yaitu usaha tani, faktor manusianya yaitu petani dan keluarganya, serta faktor lingkungan dan daya dukungnya. Idealita kedaulatan pangan bukan hanya menjamin swasembada atau ketahanan pangan saja, tetapi juga memastikan kemandirian setiap rumah tangga terhadap akses pangan. Tentu bukan suatu hal yang ringan jika kita melihat kenyataan sektor pertanian dengan segala permasalahannya saat ini. Oleh karena itu, kedaulatan pangan hanya dapat dicapai dengan gerakan bersama seluruh lapisan masyarakat. Gerakan yang mungkin jauh dari sorotan media dan hingar-bingar popularitas.
Ahmad Romadhoni Surya Putra, Ph.D
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Peternakan UGM
16 Januari 2017