Narasi besar yang dibangun oleh negara dalam hal ini pemerintah Presiden Joko Widodo terhadap sektor pertanian adalah didasarkan pada data yang menujukkan penurunan jumlah petani pengguna lahan yang menurun dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Jumlah petani yang mencapai 31 juta juta pada tahun 2003 ternyata hanya tersisa 26 juta pada tahun 2013. Penurunan hingga sekitar 17% tersebut sungguh mengkhawatirkan karena ini berarti telah terjadi perpindahan mata pencaharian utama dari sektor pertanian ke sektor yang lain. Dengan kata lain sektor pertanian dianggap tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani.
Penurunan jumlah petani ini ini dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah perubahan fungsi lahan sehingga petani banyak bergeser ke mata pencaharian lain. Usaha penyediaan pangan di Indonesia juga harus berhadapan dengan tingkat resiko kegagalan tinggi akibat perubahan iklim, kerusakan lingkungan, berkurangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan, hingga fluktuasi harga komoditas di pasar yang tidak bisa terkontrol. Akibatnya, profesi ini tidak cukup menarik untuk anak muda. Dengan tuntutan kehidupan yang semakin sulit, generasi muda lebih memilih untuk mencari profesi yang dapat menghidupi dirinya dengan resiko yang minimal.
Penurunan jumlah petani sebenarnya sangat wajar di dalam tahapan kemajuan sebuah negara. Negara-negara maju di Eropa juga memiliki pengalaman yang sama dalam hal penurunan jumlah petani. Pada periode tahun 1960-an hingga 2010-an, terjadi penurununan jumlah petani sebesar 20% – 30% di Denmark, Swedia, dan Amerika Serikat. Bahkan di Uni Eropa secara keseluruhan, pada periode 1990 – 2010 terjadi penurunan jumlah petani hingga 40%. Pada periode yang sama, negara berkembang seperti India, Mesir dan Filipina, misalnya, terjadi penambahan jumlah petani hingga mencapai 50% – 150%. Ini menjadi sinyal bahwa semakin kaya dan maju sebuah negara maka semakin sedikit jumlah petaninya.
Namun demikian, proses penurunan jumlah petani di negara-negara tersebut selalu diiringi dengan efisiensi budidaya melalui penggunaan teknologi dan peningkatan skala usaha budidaya. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa penurunan jumlah petani diikuti dengan peningkatan rasio terhadap kepemilikan lahan atau jumlah unit ternak yang dipelihara. Di Eropa pada periode waktu tahun 1950 hingga 2000-an, kepemilikan lahan meningkat mencapai lebih dari dua kali lipat dari 10 Ha hingga 22 Ha per petani. Ini menunjukkan bahwa penurunan 40% jumlah petani ternyata diikuti dengan peningkatan skala usahanya hingga lebih dari 100%. Sementara itu, negara-negara di Asia mengalami trend penurunan rasio kepemilikan lahan dari sekitar 5 Ha menjadi kurang lebih 1 Ha dari tahun 1950 hingga 2000. Di sektor peternakan, kenaikan rasio kepemilikan ternak juga sebanding dengan peningkatan rasio kepemilikan lahan. Kepemilikan sapi di Eropa meningkat hingga rata-rata 5 kali lipat dari periode 1960 hingga 2010. Bahkan, peningkatan rasio kepemilikan ternak menjadi indikator penting pertumbuhan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan korelasi positif antara kenaikan rasio kepemilikan ternak dan kenaikan pendapatan per kapita (GDP) di Eropa dan Amerika Utara.
Di Indonesia, sejak tahun 1950 hingga periode sensus pertanian 2013, trend jumlah petani sebenarnya meningkat seiring dengan trend pertumbuhan penduduk. Ini sejalan dengan pengalaman banyak negara berkembang di dunia. Bahkan, pada periode 2003 hingga 2013 Indonesia semestinya cukup berbangga karena terjadi trend penurunan jumlah petani seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sayangnya penurunan jumlah petani tersebut tidak diikuti dengan peningkata skala usaha. Pada sektor pertanian, rata-rata kepemilikan lahan petani yang sebelum mencapai 0.9 Ha di tahun 1982 ternyata turun menjadi 0.3 Ha (di pulau Jawa) pada tahun 2013. Artinya rasio jumlah petani terhadap skala unit budidaya menurun. Ini artinya jumlah petani gurem bertambah. Di sektor peternakan, rasio kepemilikan sapi potong juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Pada tahun 1995, rasio kpemilikan sapi potong nasional masih mencapai 3,5 ekor per rumah tangga peternak namun pada tahun 2013 telah menjadi 2,5 ekor per rumah tangga peternak. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian Indonesia tidak pernah serius menyentuh pada level efisiensi budidaya. Kebijakan pemerintah belum mampu menjadi daya dorong untuk meningkatkan rasio kepemilikan ternak yang mencerminkan skala usaha ekonomis. Skala usaha yang tidak optimal pada akhirnya hanya akan menambah angka kemiskinan di Nusantara.
Di sektor pasar komoditas, untuk mengontrol fluktuasi harga, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada akhirnya menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 Tahun 2016 yang mengatur harga pembelian di tingkat petani maupun konsumen untuk beberapa bahan pokok. Komoditas bahan pokok yang diatur dalam peraturan tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Keluarnya peraturan ini tentu saja patut diapresiasi karena telah menunjukkan kehadiran negara di semua aspek kehidupan masyarakat khususnya di pasar komoditas bahan pokok. Ini tentu menjadi bukti dari apa yang telah berkali-kali diucapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Secara teoritis, pengaturan harga komoditas pangan pokok oleh pemerintah sebagai regulator dimaksudkan agar tidak terjadi anjloknya harga saat jumlah komoditas melimpah di pasaran dan, sebaliknya, agar tidak terjadi kenaikan harga saat produksi terbatas atau rendah. Permasalahannya adalah sejauh mana kontrol harga ini mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap petani. Apakah harga tersebut sudah mempertimbangkan biaya produksi di sektor budidaya, ataukah hanya mempertimbangkan daya beli konsumen? Ini penting karena jangan sampai kontrol terhadap harga komoditas hanya dimaksudkan untuk memperlambat laju inflasi tanpa ada jaminan agar petani mendapatkan keuntungan yang wajar. Jika kontrol harga ini justru menekan keuntungan petani maka, sekali lagi, keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan di sektor pangan nasional perlu dipertanyakan.
Ahmad Romadhoni Surya Putra
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UGM
27 Desember 2016