Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada akhirnya menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 Tahun 2016 yang mengatur harga pembelian di tingkat petani maupun konsumen untuk beberapa bahan pokok. Komoditas bahan pokok yang diatur dalam peraturan tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Keluarnya peraturan ini perlu kita apresiasi karena telah menunjukkan kehadiran negara di semua aspek kehidupan masyarakat khususnya di pasar komoditas bahan pokok. Ini tentu menjadi bukti dari apa yang telah berkali-kali diucapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Secara teoritis, pengaturan harga komoditas pangan pokok oleh pemerintah sebagai regulator dimaksudkan agar tidak terjadi anjloknya harga saat jumlah komoditas melimpah di pasaran dan, sebaliknya, agar tidak terjadi kenaikan harga saat produksi terbatas atau rendah. Selain itu, kontrol harga ini juga dimaksudkan untuk memperlambat laju inflasi dan lebih dari itu, untuk menjamin agar petani dan peternak sebagai produsen mendapatkan keuntungan yang wajar. Dengan demikian intervensi pemerintah dalam mengatur harga acuan pembelian di tingkat petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen merupakan bentuk kehadiran pemerintah di pasar komoditas bahan pangan pokok.
Kontrol terhadap harga komoditas pokok sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Harga eceran tertinggi beberapa komoditas tersebut seperti beras dan kedelai, misalnya, telah berulang kali ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan biaya produksi yang wajar, ditribusi dan tentunya keuntungan bagi petani. Namun yang menarik adalah, pada PERMENDAG No 63/2016 ini, pemerintah menetapkan harga acuan penjualan di tingkat konsumen akhir dan konsumen industri pengguna. Seperti misalnya jagung dan kedelai, pemerintah menetapkan harga acuan penjualan konsumen tersebut untuk industri pakan. Hal ini semestinya memberikan keuntungan bagi para peternak tentang adanya kepastian harga pakan yang menjadi tanggungan bagi 70% dari total biaya produksi.
Hal yang menarik lainnya adalah peraturan menteri perdagangan kali ini juga mengatur harga acuan penjualan daging sapi di tingkat konsumen. Harga yang ditetapkan sangat bervariasi dari Rp. 50.000,- hingga Rp. 105.000,- tergantung pada bagian-bagian dari daging. Misalnya untuk tetelan, pemerintah menetapkan Rp. 50.000,- per kilogram sedangkan harga untuk sandung lamur ditetapkan Rp. 80.000,-. Kontrol terhadap harga daging sapi menjadi cukup menarik setelah sekian bulan diwarnai dengan polemik kenaikan harga sapi yang cukup tinggi hingga mencapi Rp. 120.000/kg.
Lalu bagaimana dampak bagi peternak atas keluarnya peraturan ini? Pada kasus daging sapi, ketiadaan kontrol harga pada tingkat peternak mengindikasikan bahwa harga di tingkat peternak dilepas sesuai dengan harga pasar dimana relasi antara penawaran dan permintaan menjadi penentunya. Namun demikian, nampaknya tantangan berikutnya adalah bagaimana sinergi antara kementrian perdagangan yang mengelola hilir dan kementrian pertanian yang bertanggung jawab pada sektor hulu dapat berjalan dengan baik. Sehingga, ketika harga di tingkat konsumen telah diatur oleh Kementrian Perdagangan, maka Kementrian Pertanian harus membuat kebijakan yang dapat memastikan bahwa peternak di sektor budidaya juga bisa mendapatkan keuntungan dari penetapan harga ini. Tanpa adanya sinergi ini, pemerintah terkesan mengabaikan produsen dalam hal ini peternak.
Salah satu kebijakan yang bisa diambil adalah bagaimana pemerintah mampu mendorong efisiensi usaha sapi potong di tingkat peternak. Permasalahan inefisiensi usaha peternak sapi potong selalu menjadi permasalahan laten yang menyebabkan harga daging menjadi mahal. Efisiensi usaha salah satunya dapat didorong dengan penambahan skala usaha menjadi skala usaha optimal. Permasalahan skala usaha nampaknya merupakan permasalahan menahun yang tidak pernah terurai. Padahal penambahan skala usaha selain untuk efisiensi juga dapat menjadi daya dorong untuk peningkat populasi ternak sapi nasional. Sayangnya skala usaha sapi potong yang cenderung menurun dari 3,5 ekor (Sensus Pertanian 1993) ke 2,4 ekor (Sensus Pertanian 2013) per rumah tangga peternak sapi potong. Akibatnya, pemerintah selalu kedodoran dalam mengantisipasi pertumbuhan konsumsi daging sapi yang selalu meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Jika hal ini dibiarkan maka permintaan daging sapi domestik tidak akan mampu dipenuhi oleh produksi lokal. Oleh karena itu, tanpa adanya terobosan kebijakan tentang efisiensi budidaya, maka dapat dipastikan aturan harga acuan di tingkat konsumen ini hanya akan kembali menguntungkan para importir daging dan sapi bakalan.
Ahmad Romadhoni Surya Putra
Dosen di Departemen Sosial Ekonomi Peternakan
Fakultas Peternakan UGM
17 September 2016