Harapan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi ke Rp. 80.000,-/kg nampaknya belum menunjukkan hasil. Pernyataan presiden yang disampaikan sebelum bulan ramadhan yang lalu sebenarnya telah direspon oleh para pembantu presiden. Tercatat bahwa Kementrian terkait sudah beberapa kali melakukan operasi pasar di banyak daerah. Namun sayangnya, data yang tercatat di Kementrian Perdaganagn menunjukkkan bahwa harga daging sapi nasional masih berkisar antara 112.000 hingga 117.000 (www.ews.kemendag.go.id) sejak presiden meminta penurunan harga hingga saat ini. Dengan demikian dalam kurun waktu hampir 2 bulan ini, tidak ada kebijakan yang memberikan dampak signifikan terhadap penurunan harga daging. Dalam artian, margin untuk mencapai target pemerintah dengan harga 80 ribu masih lebar.
Melihat kondisi ini, ada tiga hal yang perlu kita kritisi dari apa yang telah dilakukan pemerintah. Pertama, kebijakan harga daging sapi yang murah ini langsung direspon dengan membuka kran impor daging sapi. Ini menjadi tanda Tanya besar mengingat Presiden Jokowi sejak awal telah mencanangkan pengetatan impor daging sapi. Kebijakan impor daging dalam jangka pendek memang diharapkan dapat menurunkan harga daging secara cepat. Namun demikian, dalam jangka panjang importase daging sapi dapat berdampak negative dengan mematikan terhadap usaha peternakan sapi potong nasional.
Kedua, kebijakan mengimpor daging beku menunjukkan kegagapan pemerintah dalam melihat perilaku konsumen. Harus dilihat bahwa konsumen daging sapi di Indonesia lebih memilih untuk mengkonsumsi daging segar yang tidak dibekukan terlebih dahulu. Mereka berasumsi bahwa daging beku adalah daging yang tidak segar. Sayangnya jumlah konsumen yang memilih untuk tidak mengkonsumsi daging beku relative banyak di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa daging beku menjadi tidak cocok untuk diolah lebih lanjut menjadi bakso, rending, abon dll. Selain itu, mayoritas konsumen Indonesia membeli daging di pasar tradisional yang secara sarana dan prasarana tidak memungkinkan untuk menyimpan daging dalam keadaan beku. Akibatnya daging beku impor masuk ke pasar modern dan super market dimana tidak semua konsumen terbiasa mengaksesnya. Hal ini berakibat bahwa kebijakan impor daging beku secara massal dalam rangka mencapai harga daging 80 ribu, untuk konteks Indonesia, tidak tepat sasaran. Namun demikian, usaha pemerintah untuk menghimbau agar konsumen mau membeli daging sapi beku perlu kita apresiasi. Sayangnya, perubahan perilaku konsumen sangat sulit diubah dalam waktu yang sangat cepat tanpa ada hal-hal yang bersifat mendesak atau force majeur.
Ketiga, kebijakan yang diambil pemerintah menunjukkan bahwa keberpihakan terhadap pembangunan sistem produksi peternakan perlu dipertanyakan. Respon kementrian terkait terhadap perintah presiden sangat reaksioner. Para pembantu presiden hanya berpikir bahwa harga mahal karena suplai terbatas maka suplai ditambah melalui impor. Pengambil kebijakan tidak pernah berpikir bahwa keterbatasan suplai menjadi indicator bahwa sistem produksi daging sapi nasional perlu diperbaiki. Jika kita melihat kebijakan impor yang terjadi pada saat ini saja, maka tentu tidak adil mengatakan pemerintah tidak berpihak pada peternak. Sayangnya, hampir di setiap pemerintahan pasca reformasi, harga daging sapi yang tinggi di pasaran selalu direspon dengan importase daging. Ini menyebabkan kita tidak memiliki perencanaan jangka panjang untuk menyediakan daging sapi dengan harga terjangkau. Perlu diketahu, untuk mendapatkan 150 – 200 kg daging sapi maka membutuhkan minimal 2,5 hingga 3 tahun dari lahirnya pedet (anak sapi) hingga siap sembelih. JIka kita merujuk pada rata-rata konsumsi daging sapi nasional yang mencapai 2,6 kg/kap/tahun maka dibutuhkan 4 juta ekor sapi siap potong setiap tahun. Dengan kenaikan konsumsi daging yang bisa diprediksi, maka kebutuhan indukan sapi, teknologi tepat guna, dan rancangan sistem produksi yang efisien mestinya bisa direncakan. Jika kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pada tahun 2016, maka dengan logika linear, pemerintah mestinya sudah bisa mempersiapkan sejak 5 – 7 tahun yang lalu. Sayangnya, kita selalu terlambat untuk merencanakan dan mengimplementasikan. Pengambilan kebijakan impor daging sapi oleh pemerintah bisa jadi cerminan bahwa bangsa kita lebih suka dengan hal-hal yang bersifat instan.
Ahmad Romadhoni Surya Putra
27 Juni 2016