Harapan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi ke level Rp. 80.000,-/kg nampaknya belum menunjukkan hasil. Meskipun sudah beberapa kali melakukan operasi pasar di banyak daerah, data fluktuasi harga yang tercatat di Kementrian Perdagangan menunjukkkan bahwa harga daging sapi nasional masih berkisar antara 112.000 hingga 117.000 (www.ews.kemendag.go.id). Dengan demikian dalam kurun waktu hampir 2 bulan ini, langkah-langkah yang diambil belum memberikan dampak signifikan terhadap penurunan harga daging.
Langkah-langkah yang diambil Pemerintah
Ada dua langkah kebijakan jangka pendek yang perlu kita telisik lebih lanjut. Pertama adalah kebijakan mengimpor daging sapi. Kekhawatiran para analis tentang terbukanya impor daging akhirnya menjadi kenyataan. Harga yang dipatok oleh presiden menjadi alasan rasional untuk membuka kembali kran impor daging sapi besar-besaran. Ini menjadi tanda tanya besar mengingat Presiden Jokowi sejak awal telah mencanangkan pengetatan impor daging sapi. Kebijakan impor daging dalam jangka pendek memang diharapkan dapat menurunkan harga daging secara cepat. Namun demikian, dalam jangka panjang importase daging sapi dapat berdampak negatif terhadap usaha peternakan sapi potong nasional.
Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa kebijakan impor daging juga tidak serta merta menurukan harga daging di pasaran. Hal ini dikarenakan pemerintah memilih untuk mengimpor daging beku untuk disalurkan ke pasar modern maupun pasar tradisional. Impor daging beku sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Namun selama ini importase daging beku lebih diarahkan ke pasar modern, hotel, dan restoran, bukan ke pasar tradisional. Impor daging sapi beku untuk disalurkan ke pasar tradisional sebenarnya menunjukkan menunjukkan kegagapan pemerintah dalam mengamati perilaku konsumen dan infrastruktur pasar daging sapi. Konsumen daging sapi di Indonesia secara umum lebih memilih untuk mengakses pasar tradisional. Dengan segala keterbatasan infrastruktur, sangat tidak mungkin pasar tradisional menyediakan daging beku. Meski lebih higienis, keterbatasan permodalan memembuat pedagang daging sapi di pasar tradisional tidak mampu meyediakan alat pendingin dengan kapasitas yang besar. Dengan terbangunnya asumsi bahwa daging beku adalah daging yang tidak segar, konsumen cenderung mengkonsumsi daging yang tidak dibekukan dan banyak tersedia di pasaran. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi daging sapi mencapai 2,6 kg/kapita/tahun. Jika merujuk pada data konsumsi dari Dirjen Peternakan, maka hampir semua konsumsi daging sapi adalah berupa daging segar (fresh meat).
Sementara itu, konsumen daging segar banyak yang merupakan produsen makanan olahan. Para produsen tersebut beranggapan bahwa daging beku tidak cocok untuk diolah lebih lanjut menjadi bakso, rending, abon dll. Dengan demikian impor daging sapi beku bisa jadi adalah kebijakan yang tidak pas untuk menurunkan harga daging secara cepat. Meskipun demikian, usaha pemerintah untuk menghimbau agar konsumen mau membeli daging sapi beku perlu kita apresiasi. Sayangnya, perilaku konsumen sangat sulit diubah dalam waktu yang sangat cepat tanpa ada hal-hal yang bersifat mendesak atau force majeur.
Langkah kedua adalah kebijakan mengimpor daging kerbau dari India. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang out of the box dari pemerintah. Sepanjang sejarah republik ini berdiri, Indonesia belum pernah mengimpor daging kerbau. Namun demikian, kebijakan ini justru memperkuat dugaan bahwa pemerintah sebenarnya gagal untuk melihat dan mengamati tren perilaku konsumen daging. Konsumsi daging kerbau sebenarnya bukan hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi daging kerbau mencapai lebih dari 30 ton per tahun sejak tahun 2010 (www.bps.go.id). Namun demikian, konsumsi daging kerbau per kapita penduduk sangat rendah dan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Tercatat bahwa konsumsi daging kerbau banyak berada di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan. Ini menunjukkan bahwa daging kerbau sebenarnya tidak bisa menjadi substitusi untuk daging sapi. Jika demikian maka, kebijakan impor daging kerbau sebagai cara untuk menurunkan harga daging sapi perlu dipertanyakan. Lagi-lagi hal tersebut bertolak belakang dengan perilaku konsumen daging di Indonesia.
Keberpihakan pada sistem produksi peternakan
Kedua langkah kebijakan instan yang diambil pemerintah menunjukkan bahwa belum ada keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan sistem produksi peternakan. Pengambil kebijakan tidak (mau) pernah berpikir bahwa keterbatasan suplai daging sapi menjadi indikator bahwa sistem produksi daging sapi nasional perlu diperbaiki. Jika kita melihat kebijakan impor menjadi solusi terhadap naiknya harga daging maka hampir dipastikan bahwa permasalahan ketersediaan daging sapi di pasaran akan selalu berulang setiap tahun. Ini terbukti bahwa setiap pemerintahan pasca reformasi selalu merespon harga daging sapi yang tinggi di pasaran dengan importase daging. Akibatnya, kita tidak memiliki perencanaan jangka panjang untuk menyediakan daging sapi dengan harga terjangkau. Perlu diketahu, untuk mendapatkan 150 hingga 200 kg daging sapi maka membutuhkan minimal 2,5 hingga 3 tahun dari lahirnya pedet (anak sapi) hingga siap sembelih. Jika kita merujuk pada rata-rata konsumsi daging sapi nasional yang mencapai 2,6 kg/kapita/tahun maka dibutuhkan 4 juta ekor sapi siap potong setiap tahun.
Oleh karena itu, dengan kenaikan konsumsi daging yang bisa diprediksi, maka kebutuhan indukan sapi, teknologi tepat guna, dan rancangan sistem produksi yang efisien mestinya bisa direncakan. Jika kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pada tahun 2016, maka dengan logika linear, pemerintah mestinya sudah bisa mempersiapkan sejak 5 – 7 tahun yang lalu. Sayangnya, kita selalu terlambat (tidak mau) untuk merencanakan dan mengimplementasikan dengan baik. Kebijakan impor daging sapi yang menahun oleh pemerintah menjadi cerminan bahwa bangsa kita lebih suka dengan hal-hal yang bersifat instan.
Ahmad Romadhoni Surya Putra,
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan UGM